MAKALAH FIKIH
“SUMBER HUKUM ISLAM”
NAMA : ADE ALFIRA
KELAS
: XII IPA 2
GURU
PEMBIMBING : NELFI YANTI S.Pdi
MADRASAH ALIYAH NEGERI KUOK
TP.2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur
penulis telah panjatkan atas kehadirat Allah SWT sang Pencipta alam semesta,
manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan
rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan tema “Hukum Islam Yang Disepakati Dan Yang Tidak
Disepakati” yang sederhana ini dapat terselesaikan tidak kurang
daripada waktunya.
Maksud dan
tujuan dari penulisan makalah ini tidaklain untuk memenuhi salah satu dari
sekian kewajiban mata kuliah Ushul Fiqh serta merupakan bentuk
langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Demikian
pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bawasannya
penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wa’jala hingga dalam
penulisan dan penyusunnnya masih jauh dari kata sempurnaAkhirnya penulis hanya
bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan
makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan
hikmah bagi penulis, dan pembaca. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Penulis, 28 November 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang sempurna yang tentunya sudah
memiliki aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh
umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman
dalam pelaksanaannya.
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum
yang datang dari Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui Rasul-Nya Nabi
Muhammad SAW, yakni Al Qur’an Al Kariim. Kemudian sumber hukum agama islam
selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita kenal dengan Hadits. Al Qur’an dan
Hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam
menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Namun, seiiring dengan berkembangnya zaman ada saja
hal-hal yang tidak terdapat solusinya dalam Al Qur’an dan Hadits. Oleh karena,
itu ada sumber hukum agama islam yang lain, diantaranya Ijma dan Qiyas. Namun,
Ijma dan Qiyas tetap merujuk pada Al Qur’an dan Hadits karena Ijma dan Qiyas
merupakan penjelasan dari keduanya.
Jika
kita menelusuri atsar-atsar ulama Salaf dan khabar-khabar ulama Khalaf sejak
masa Khulafaur Rosyidin hingga masa kini tidak kita dapati seorang imam
mujtahid pun bahkan seorang muslim yang awam yang mempunyai sebesar dzarrah
keimanan pada hatinya yang mengingkari kewajiban untuk berpegang teguh pada As
Sunnah dan berhujjah dengannya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata:” Dan hendaknya diketahui bahwa tidak
seorang pun diantara para imam yang diikuti oleh umat ini sengaja menyelisihi
Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam dari sunnah yang kecil dan besar.
Karena sesungguhnya, mereka telah sepakat dengan penuh keyakinan akan kewajiban
mengikuti Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam dan bahwa setiap orang
diterima dan ditolak perkataannya kecuali Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa
sallam “
Tidak
mungkin bagi akal manusia biasa yang tidak diturunkan kepadanya wahyu dan Allah
Ta’ala I tidak menguatkan dengannya dapat mampu memahami secara rinci syari’at
ini beserta hukum-hukumnya jika hanya berpegang dengan Al Qur’an. Karena Al
Qur’an mengandung beberapa dalil-dalil yang mujmal (global) yang membutuhkan
penjelasan.
Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan
tentang berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam
mengambil keputusan suatu hukum.
Dalil – dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang
sepakati dan ada juga yang tidak sepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah
Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang
sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian kecil
yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas.
Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati adalah Isthisan,
isthisab, Maslahah Mursalah, Urf, Mahzab Shahabi, dan syaru man Qoblama. Sebagian
jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan
ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian
sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan
sebagai sumber hukum.
Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum
yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk
membekali diri kita dalam mengambil sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan
kita sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan
sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai sesuatu hukum.
BAB II
ISI
A. SUMBER HUKUM YANG DISEPAKATI ULAMA
1.
AL-QURAN
A.
PENGERTIAN AL-QURAN
Menurut
bahasa “Al-quran” berarti “bacaan”, yaitu bentuk mashdar dari kata qara’a.
Adapun
menurut istilah, “Al-quran adalah wahyu allah yang diturunkan kepada nabi
muhammad saw, untuk dijadikan pedoman hidup dan petunjuk bagi umatnya guna
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat”.
Banyak
firman allah yang menyatakan bahwa al-quran sebagai petunjuk bagi orang-orang
yang bertakwa kepada-Nya. Seperti Al-baqarah : 2, dan An-nahl : 64.
Defenisi dari ayat-ayat tersebut adalah :
1) Apa
yang diwahyukan allah dalam maknanya kemudian dipahami dalam bahasa Rasulullah,
tidaklah dinamai Al-quran.
2) Alih
bahasa Al-quran ke dalam bahasa selain bahasa Arab dengan maksud memudahkan
pemahaman atau maksud lainnya tidaklah disebut Al-quran.
3) Wahyu
allah yang diturunkan kepada selain Muhammad saw bukanlah Al-quran.
B.
POKOK-POKOK ISI AL-QURAN
Isi
pokok Al-quran terdiri dari :
1) Tauhid,
yaitu kepercayaan terhadap keesaan Allah swt, dan semua kepercayaan yang
berhubungan dengan-Nya.
2) Ibadah, yaitu
perbuatan atau amaliyah sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid dan
yang menghidupkan jiwa tauhid.
3) Akhlak, yaitu
tentang perbuatan-perbuatan yang terpuji dan tercela.
4) Janji dan ancaman,yaitu
janji pahala / ganjaran bagi siapa saja yang percaya, menerima dan mengamalkan
isi kandungan al-quran serta ancaman / siksaan bagi yang mengingkarinya.
5) kisah-kisah umat terdahulu,
seperti kisah para rasul, nabi, dan orang-orang saleh. Serta kisah orang-orang
yang mengingkari ajaran allah.
C.
DASAR KEHUJJAHAN AL-QURAN DAN
KEDUDUKANNYA SEBAGAI SUMBER HUKUM
Al-quran
menempati kedudukan pertama dari sumber hukum islam dan merupakan aturan yang
tertinggi. Al-quran diturunkan kepada nabi muhammad saw dan disampaikan kepada
umat manusia untuk diamalkan isinya.
D.
PEDOMAN AL-QURAN DALAM MENETAPKAN HUKUM
Al-quran
berpedoman pada 3 hal :
1) Tidak
memberatkan atau tidak menyulitkan (‘adamul haraj).
2) Menyedikitkan
baban (qillatut taklif).
3) Berangsur-angsur
dalam menetapkan hukum (attadrij fit tasyri’).
E.
SIFAT HUKUM YANG DITUNJUKKAN AL-QURAN
Ayat-ayat
hukum yang terdapat di dalam al-quran pada umumnya bersifat kulli (umum) dan sedikit sekali yang
bersifat juz’i (terinci).
Ayat-ayat
kulli adalah ayat yang memerlukan penjelasan. Misalnya : ayat al-quran mengenai
sholat dan zakat. Allah tidak merincikan bagaimana cara sholat dan kadar zakat.
Maka yang berhak memberikan penjelasan dari ayat-ayat al-quran yang bersifat
kulli adalah Rasulullah melalui sabda-sabdanya.
2.
AS-SUNAH
A.
PENGERTIAN AS-SUNAH
1.
Menurut bahasa ( Lughoh ) سَنَّ
– يَسنّ – سنّا،سنّة
Ditinjau dari etimologinya (bahasa) As Sunnah berarti : siroh atau thoriqoh
(jalan) yang baik maupun yang buruk Allah Ta’ala berfirman:
﴿ يريد اللَّهُ
لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ
عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم ﴾
“Allah Ta’ala hendak menerangkan (hukum syari`at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu
kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu dan (hendak) menerima taubatmu. Dan
Allah Ta’ala Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
2. Menurut istilah syara’.
Assunnah menurut arti istilah
syara’ ialah sesuatu yang datangnya dari ucapan, perbuatan dan ketetapan atau
pengakuan Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan mnurut ahli Ushul Fiqh mendefiniskan Assunnah secara terminologis
ialah Segala sesuatu yang bersumber adri Nabi Muhammad SAW selain Al Qur’anul
Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir yang dapat dijadikan
sebagai dasar menetapkan hukum syara’.
Perbedaan Assunnah dengan Al
Hadits, bahwa Al Hadits secara arti bahasa adalah berita atau kabar yang
diucapkan Nabi Muhammad SAW.
B.
MACAM-MACAM
AS-SUNAH
Assunnah ada empat macam,
yaitu :
1. Sunnah Qauliyah (Sunnah yang bangsa ucapan), yaitu Hadits-Hadits atau
berita-berita yang diucapkan Rasulullah SAW dalam berbagai topik, tujuan dan
dalam keadaan yang berlainan, seperti sabda Nabi :إنماالأعمال بالنيات ... (Semua perbuatan tergantung pada niatnya)
2. Sunnah
Fi’liyah (Sunnah yang bangsa perbuatan Rasulullah SAW), seperti perbuatan
Rasulullah dalam melaksanakan shalat lima waktu, ibadah haji, zakat dan
ibadah-ibdah lainnya dalam segala bentuk dan rukunnya.
3. Sunnah
Taqririyah (ketetapan / pengakuan Rasulullah SAW terhadap segala ucapan atau
perbuatan para sahabatnya), seperti Hadits tentang Mu’adz bin Jabal yang diutus
Rasulullah SAW ke negeri Yaman. Rasulullah SAW bertanya: ”Dengan apa kamu akan
memutuskan suatu perkara (terhadap kaum
di negeri Yaman) ? ”. Mu’adz menjawab: Dengan Kitabullah (Al Qur’an), jika saya
tidak mendapatkan, dengan Sunnah Rasul, jika tidak mendapatkan juga, maka
berijtihad sesuai dengan pendapatku”. Rasulullah SAW menyetujui pendapat Mu’adz
bin Jabal ini dengan sabdanya : ” Segala puji bagi Allah yang telah memberi
Taufiq kepada utusan-Nya sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya Ridlo’i”.
Kemudian Hadits ini yang menjadi dasar kuat, bahwa Assunnah atau Al Hadits
dapat menjadi sumber hukum Islam otentik ke dua setelah Al Qur’an dengan segala
fungsi dan kedudukannya.
4. Sunnah Hammiyah, yaitu keinginan
Nabi Muhammad SAW untuk melakukan suatu hal, seperti keinginan untuk berpuasa
pada tanggal 9 Muharrom
C.
DASAR AS-SUNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa
sunnah/ hadits adalah merupakan salah satu sumber ajaran islam. Ia menempati
kedudukannya setelah Al-Qur’an. Keharusan mengikuti sunnah atau hadits bagi
umat islam baik yang berupa perintah atau larangan sama halnya dengan kewajiban
mengikuti Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan sunnah/ hadits adalah Mubayyin terhadap
Al-Qur’an, oleh karena itu siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa
dengan memahami dan menguasai hadits/ sunnah. Begitu pula dalam memahami atau
menggunakan hadits tanpa Al-Qur’an. Karena Ak-Qur’an merupakan dasar hukum
pertama yang di dalamnya berisi garis besar syari’at. Dengan demikian antara
Al-Qur’an dan Hadits memiliki kaitan yang sangat erat, yang untuk memahami dan
mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
a.
Dalil Al-Qur’an.
Banyak ayat Al-qur’an yang menerangkan tentang kewajiban untuk tetap
teguh beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasulullah sebagai
utusan Allah SWT merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap
individu. Dengan demikian Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan
mereka. Dalam surat Ali Imran ayat 17 diterangkan :
“(yaitu)
orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya
(di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur” (QS. Ali Imran :
17).
b.
Dalil Hadits Rasul SAW
Kedudukan hadits/ sunnah sebagai sumber ajaran agama islam, selain dapat
dilihat dan dikaji berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an, juga dapat dilihat dan
dikaji dengan hadits atau sunnah Rasulullah SAW itu sendiri. Banyak hadits yang
menggambarkan hal ini dan menunjukkan perlunya ketaatan pada perintahnya
(Rasul). Dalam satu pesan Rasul berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits
atau sunnah rasul sebagai pedoman hidup di samping Qur’an. Rasulullah bersabda
sebagai berikut (yang artinya) :
“Aku
tinggalkan dua pusaka kepada kalian. Jika kalian berpegang teguh kepada
keduanya, ciscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah
Rasul-Nya”. (HR. Al-Hakim dan Abu Hurairah).
c.
Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat islam
dan para ulama telah sepakat bahwa hadits/ sunnah adalah sebagai salah satu
dasar hukum dalam beramal. Penerimaan mereka terhadap hadits/ sunnah sama
seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an sebagai sumber dalam beramal.
Namun ada beberapa kalangan dari umat islam yang menentang bahwasannya hadits/
sunnah adalah sebagai salah satu sumber dalam beramal. Kalangan tersebut adalah
orang-orang yang menyimpang dan para pembuat kobohongan.
d. KEDUDUKAN
AS-SUNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada
keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan
para sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti
sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan
hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti)
yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada
Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair
mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya)
dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode
pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah
adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2
rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana
hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS
Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
3.
IJMA’
A. PENGERTIAN
IJMA’
Secara Etimologi (Bahasa) Ijma’ berasal
dari kata “ajma’a”,“yujmi’u”,“ijma'an” dengan isim maf’ul mujma yang memiliki dua
makna :
1. Ijma' secara
etimologi bisa bermakna tekad yang kuat
وَشُرَكَاءَكُمْ أَمْرَكُمْ فَأَجْمِعُوا
“…Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu
(untuk membinsakanku)…”
(QS. Yunus : 71)
2.
Ijma’ secara
etimologi juga memiliki makna sepakat
فَلَمَّا ذَهَبُوا
بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ
“Maka tatkala mereka membawanya
dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur” (QS.
Yusuf : 15)
Adapun
definisi secara istilah, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna
Ijma’ menurut arti istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan
kaidah dan syarat Ijma’. Namun definisi Ijma’ yang paling mendekati kebenaran
adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad (mujtahid) dari kalangan umat
Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam pada masa
tertentu akan suatu perkara agama.
B. MACAM-MACAM
IJMA’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :
1)
Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu
kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan
dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan.
2)
Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya
secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa
dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal
persesuaiannya atau perbedaannya.
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini
terbagi menjadi dua bagian juga yaitu sebagai berikut.
1)
Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan
dan tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak
boleh mengadakan ijtihad hukum syara mengenai suatu kejadian setelah adanya
ijma sharih.
2)
Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga
berdasarkan dugaan kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih
memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat
seluruh mujtahid.
C. KEDUDUKAN
IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM
Seperti
yang ditegaskan oleh Syakhul-Islam Ibnu Tamiyah, Ijma’ ialah kesepakatan para
ulama kaum muslimin atas hukum tertentu. Bila Ijma’ telah diputuskan secara
permanen atas suatu hukum, maka tidak boleh bagi siapapun keluar dari keputusan
Ijma’ tersebut, karena mustahil umat islam sepakat dalam kesesatan. Tetapi
boleh jadi, banyak masalah yang diklaim berdasarkan Ijma’ ternyata tidak
demikian, bahkan pendapat lain lebih kuat dari Al-Qur’an dan As-sunnah. [Majmu’ Fatâwâ, Ibnu Taimiyyah]
Ijma’ merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber
hukum ketiga agama Islam setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak terdapat ketetapan
Ijma’ yang menentang kebenaran, kecuali tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan
Sunnah. Maka suatu keutamaan bagi para ulama ahli ijtihad untuk berijma’
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Ibnu Hazm rahimahumullah berkata, “Tidak ada ijma’
kecuali berdasarkan nash agama, baik berasal dari ucapan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maupun dari perbuatan atau perilaku beliau.” [Al-Ihkam fî
Ushulil-Ahkam, Ibnu Hazm]
Sebagian besar ulama berpandangan, ijma’ memiliki bobot
yang sangat kuat dalam menetapkan
hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah setelah Al-Qur’an dan Sunnah,
karena ijma’ berdasarkan dalil syar’i baik secara eksplisit maupun secara
implisit. Bahkan sebagian besar ulama berpandangan, ijma’ wajib diaplikasikan.
Tidak sedikit pula yang menolak ijma’ seperti kalangan
Syi’ah dan Khawarij. Namun, itu tidak usah dihiraukan, karena para ulama Islam
telah sepakat menjadikan Ijma’ sebagai salah satu pegangan selain Al-Qur’an dan
Sunnah. Hal itu didasarkan pada :
1) Ijma’ menurut
Al-Qur’an
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai…” [QS. Ali Imran : 103]
“Dan barang
siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. An-Nisa: 115]
2) Ijma’ menurut
As-Sunnah
Dari 'Umar bin
Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap perpecahan.
Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun dengan dua orang lebih jauh. Dan
barang siapa yang menginginkan surga paling tengah maka hendaklah bersama
jamaah.” [Shahih, HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: "Jika jamaah mereka berpencar di setiap
negara dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka, mereka tetap bisa
membuahkan Ijma'. Namun sebaliknya, walaupun badan mereka berkumpul dalam satu
tempat, akan tetapi bercampur dengan berbagai kalangan, baik dari kaum
muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang bertakwa maupun para penjahat, maka tidak
mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan Ijma'. Oleh karena itu,
menjadi suatu keharusan mengikuti jamaah mereka dalam menetapkan perkara halal
dan haram serta ketaatan. Barang siapa yang berpendapat sama dengan pendapat
jamaah kaum muslimin maka ia telah berada di atas jamaah mereka. Dan barang
siapa yang menyelisihi pendapat jamaah mereka maka ia telah menyelisihi jamaah
kaum muslimin". [Ar-Risalah, Imam Asy-Syafi’i]
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa Ijma’ bisa
dikatakan sebagai salah satu landsan hukum islam selain Al-Qur’an dan Sunnah.
Namun isi dari Ijma’ itu tersendiri harus didasari pada dalil-dalil syar’i,
karena hakekatnya sebaik-baiknya pedoman kita di akhir zaman seperti ini adalah
Al-Qur’an dan Sunnah.
D. SEBAB-SEBAB
DILAKUKAN IJMA’
Sebab-sebab dilakukannya ijma’ adalah :
1. Adanya masalah yang harus dicari status hukumnya
2. Karena nash Al-Qur’an dan hadits tidak turun lagi
3. Jumlah mujtahid pada masa itu belum terlalu banyak, sehingga mudah
dikoordinir untuk bersepakat
4. Para mujtahid belum banyak perpecahan.
E. CONTOH-CONTOH
IJMA’
1.
Ijma’ tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah
karena mengqiyaskan kepada penunjukan Abu Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat
ketika Nabi sedang berhalangan. (Jumhur Ulama, Fiqih Sunnah Jilid I, hal
149).
2.
Menurut Ijma’ kaum muslim, boleh mengusap bagian atas
sepatu ketika dalam perjalanan. Tidak ada yang melarang hal ini, kecuali
golongan Khawarij. (Fiqih Empat Mazhab, Mengusap Sepatu (khuf), hal 37).
3.
Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa umat Islam yang
berada di wilayah Darul Harbi diwajibkan untuk hijrah ke Darul Islam.
(Ensiklopedi Hukum Islam Jilid I, hal 256).
4.
Jumhur Ulama sepakat bahwa adil itu hanya dapat
dinilai secara lahiriah saja, tidak secara batiniah. (Ensiklopedi Hukum Islam
Jilid 4, hal 1186).
5.
Para ulama Mujtahid sepakat bahwa jual beli
dihalalkan, sedangkan riba diharamkan. (Fiqih Empat Mazhab, Hukum Jual Beli,
hal 214).
6.
Para Mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan
yang dianjurkan syariat. (Fiqih Empat Mazhab, Nikah, hal 338).
7.
Para ulama mazhab seluruhnya sepakat bahwa, orang yang
sakit menjelang ajal, manakala mewakafkan sebagian dari miliknya adalah syah
dan bila dia cukup, wakaf tersebut diambil dari jumlah sepertiga hartanya.
Apabila lebih, maka kelebihannya itu dikeluarkan berdasarkan izin para ahli
warisnya. (Fiqih Lima Mazhab, Wakaf hal 645).
8.
Para imam mazhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi
adalah sama dalam perhitungan zakatnya. (Fiqih Empat Mazhab, Zakat Hewan
Ternak, hal 132).
9.
Para imam mazhab sepakat atas keharaman Ghashab
(merampas hak orang lain). (Fiqih Empat Mazhab, Perampasan (Ghashab), hal 281).
10.
Para ulama mazhab sepakat bahwa, wali waqhaf (penguasa
wakaf) adalah harus orang yang berakal sehat, baligh, pandai menggunakan harta,
dan bisa dipercaya. (Fiqih Lima Mazhab, Kekuasaan Atas Waqhaf hal 659)
4.
QIYAS
A.
PENGERTIAN QIYAS
Qiyas menurut bahasa
adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa menyamainya.
Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama Ushul Fiqh,
Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian
lain yang ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan
di antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah meminum
khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash.
Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh
karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan hukumnya sama dengan
khamr dan haram meminumnya.
B. MACAM-MACAM
QIYAS
1.
Qiyas Illat. Yaitu mempersamakan soal cabang
dengan soal pokok karena persamaan illatnya. Qiyas illat terbagi kepada dua
bagian yaitu:
·
Qiyas Jali. Yaitu apabila illat tersebut berdasarkan
dalil yang Qath’i, yang tidak ada kemungkinan lain selain untuk menunjukkan
illat. Qiyas Jali ini terbagi menjadi tiga macam, yakni:
-
dijelaskan dengan kata-kata yang menunjukkan illat, misalnya mengqiyaskan orang
yang menyuruh orang lain untuk membunuh ayahnya dengan orang yang langsung
membunuh ayahnya. Keduanya terhalang mendapat harta warisan.
-
Qiyas Aulawy, contohnya mengqiyaskan orang yang memukul orang tuanya dengan
orang yang membentak orang tuanya. Kedua perbuatan itu sama-sama terlarang.
-
Qiyas Musaqi, contohnya mengqiyaskan Wiski dengan
arak, keduanya haram diminum.
·
Qiyas Khofi, yaitu apabila illat tersebut berdasarkan
dalil yang mungkin dijadikan illat, mungkin pula bukan illat. Qiyas Khofi ada
dua macam, yakni:
-
Illat diketahui dari kata-kata yang Dhahir (lebih terang untuk menunjukkan
illat daripada untuk lainnya). Contoh mengqiyaskan bekerja dengan jual beli
pada hari Jum’at tatkala sudah adzan untuk shalat. Illatnya pergi shalat. Kedua
pekerjaan itu harus dihentikan.
-
Illat diketahui dengan penyelidikan. Contohnya mengqiyaskan membakar harta anak
yatim dengan memakannya. Illanya pemeliharaan harta atau tidak menghabiskannya
yang bersifat dlaruri. Kedua pekerjaan itu terlarang.
2. Qiyas
Dalalah. Yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan, yang disebutkan hanyalah
hal-hal yang menunjukkan adanya illat tersebut. Contohnya mengqiyaskan wajib
zakat harta anak-anak dengan wajib zakat harta orang dewasa. Dalil illatnya
adalah dapat bertambahnya harta tersebut;
3. Qiyas
Syibih. Yaitu qiyas ketika cabang bisa diqiyaskan dengan dua pokok yang banyak
persamaannya. Contohnya mengqiyaskan budak dengan orang merdeka karena
sama-sama turunan adam. Budak dapat juga diqiyaskan dengan hewan, karena
keduanya adalah harta benda yang dapat dimiliki, tetapi budak lebih banyak
persamaannya dengan harta karena dapat diperjual-belikan, diwariskan,
dowaqafkan, dan lain-lain.
C.
KEDUDUKAN QIYAS DALAM HUKUM ISLAM
Qiyas menurut ulama ushul
adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits
dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Ada juga membuat definisi lain, qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan
illat hukum.
Dengan
demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa
karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Umpamanya
hukum meminum khamar , nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu
hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt: “Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs.5:90)
Haramnya meminum khamr yang berdasar illat hukumnya adalah memabukkan. Maka
setiap minuman yang memabukkan sama saja dengan khamar dalam hukumnya, maka
minuman tersebut adalah haram hukumnya untuk dikonsumsi.
Berhubung qiyas
merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama
jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal
yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat sahabat maupun
ijma ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah
dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri
tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan
tujuan nash termasuk menyingkap alasan- alasannya guna menetapkan suatu
kepastian hukum yang sesuai dengan illat . Sebaliknya, mereka menetapkan hukum
hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal
karena persamaan illat . Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok
ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan
hadits.
Jumhur
ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk
sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat
hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian
ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah
hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i. Diantara ayat Al Qur’an yang
dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah: “Dia-lah yang
mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka
pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng- benteng mereka dapat mempertahankan
mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari
arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam
hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri
dan tangan orang- orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Qs.59:2)
Dari
ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil
pelajaran’ . Kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan
sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu
hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan.
Hal
yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan
qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui. “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (Qs.4:59) Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas,
sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah
khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda- tanda
kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Hal
ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas. Sementara
diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasarkan pada hadits Muadz ibn
Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh
Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena
qiyas merupakan salah satu macam ijtihad. Sedangkan dalil yang ketiga mengenai
qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan
kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang
mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa
qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan. Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu
kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan
pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari
syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak
maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya
pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil
yang keempat adalah dalil rasional. Pertama , bahwasanya Allah Swt
mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia
merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik
Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan
manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika
nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum agama. Karenanya qiyas merupakan
sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya
permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum
syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah
.
Qiyas memiliki empat
rukun, yaitu:
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan
al-maqis alaihi.
2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut
pula al-maqîs .
3. Hukmu al-asal , yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam nash dalam hukum
asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’ .
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang
dibangun atasnya.
D.
SEBAB-SEBAB DILAKUKAN QIYAS
1)
Karena adanya persoalan-persoalan yang
harus dicarikan status hukumnya.
2)
Karena Nash, baik Al-quran maupun sunah.
3)
Karena adanya persamaan illat antara
peristiwa yang belum ada hukumnya.
B. SUMBER HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI
ULAMA
1.
ISTIHSAN
A.
PENGERTIAN ISTIHSAN
Menurut bahasa, istihsan
berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul
fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang
lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil
syara’. Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu
hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
Istihsan adalah
salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda dengan
Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh para
ulama sebagai sumber hukum Islam. Istihsan adalah salah satu
metodologi yang digunakan hanya oleh sebagian ulama saja, tidak semuanya.
Yang dikehendaki
Istihsan adalah suatu kondisi yang itu berada di tengah-tengah di antara dua
ketentuan. Seolah-olah jika dilihat dari satu sisi, maka hukum yang lebih cocok
adalah A, tetapi jika dilihat dari sisi yang lain lagi, maka kelihatan hukumnya
yang lebih sesuai adalah B. Di dalam bahasa ulama, bahwa Istihsan itu adalah:
mutarajidayni bayna ashlayni, yaitu adanya kemungkinan bisa kembali kepada dua
sumber hukum yang berbeda. Misalkan ada suatu kasus yang jika diqiyaskan kepada
suatu ayat, maka hukumnya adalah haram, tetapi jika diqiyaskan dengan ayat yang
lain lagi, maka hukumnya menjadi berbeda lagi. Dalam kasus ini, tidak ada ayat
Alquran yang jelas-jelas menunjukkan, juga tak ada Hadis ataupun Ijma’ ulama
yang menunjukkan itu, Qiyas pun ada dua kemungkinan. Sehingga dalam kasus
seperti ini digunakanlah Istihsan.
B.
MACAM-MACAM ISTIHSAN
1) Istihsan
yang mengutamakan qiyas kafi dari pada qiyas jaly.
Qiyas : wanita
yang haid diqiyaskan kepada orang junub. Illatnya sama yaitu tidak suci,
sehingga orang yang haid haram membaca al-Qur’an.
Istihsan : Orang yang
haid berbeda dengan orang yang junub, karena haid waktunya lama.
2)
Berpindahnya hukum Kully kepada hukum Istisna’i.
Misal : Jual
beli salam (Sistem pesanan).Menurut dalil Kully, syara’ melarang jual beli yang
barangnya tidak ada pada waktu akad. Sedangkan berdasarkan istihsan
diperbolehkan dengan alasan manusia berhajat kepada itu dan sudah menjadi adat
mereka serta dianggap membawa kebaikan bagi manusia.
C.
KEDUDUKAN ISIHSAN SEBAGAI SUMBER HUKUM
ISLAM
1. Golongan syafi’iyyah
menolak Istihsan, karena berhujjah dengan istihsan dianggap menetapkan suatu
hukum tanpa dasar yang kuat hanya semata-mata didasarkan pada hawa nafsunya.
2. Golongan
Hanafiyah dan Malikiyah memperbolehkan istihsan dengan pertimbangan istihsan merupakan
usaha melakukan qiyas kafi dengan mengalahkan Qiyas Jaly atau mengutamakan
dalil yang istisna’i dari pada yang kully.
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul
Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang
berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang
pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang
mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang
menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang
kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut
pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga
yang disebut dengan segi Isthisan”.
2.
ISTISHAB
A.
PENGERTIAN ISTISHAB
Istishab secara harfiah
adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan Menurut Ushul Ulama
istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaaan sebelumnya sampai terdapat
dalil-dali yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hokum yang telah
ditetapkan pada masa lampau sampai dengan terdapat dalaoi yang menunjukkan
perubahannya (Syafe’i, 1999: 125)
B. MACAM-MACAM
ISTISHAB
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini.
Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1)
Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain
yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa
mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama
tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah
satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang
menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti
ijma’ dan qiyas
2)
Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya
seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga
datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau
mempertanggungjawabkan sesuatu
3)
Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan
masalah yang masih diperselisihkan.
C.
KEDUDUKAN ISTISHAB SEBAGAI SUMBER HUKUM
ISLAM
·
Kaidah pertama
“Asal
sesuatu itu tetap sebagaimana adanya”
·
Kaidah kedua
“Asal
hukum sesuatu adalah boleh.(mubah)”
·
Kaidah Ketiga
“Apa yang
tumbuh dengan yakin, tidak hilang karena adanya keragu-raguan”
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi
tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan
kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata
:”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah
penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya,
sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.
3.
MASHALIH
AL-MURSALAH
A.
PENGERTIAN MASHALIH AL-MURSALAH
Mashalih al-mursalah artinya adalah mengambil yang baik dan
meninggalkan yang buruk (yang tidak baik). Apakah yang dimaksud dengan “yang
baik” tersebut?. Para ulama menyebutkan, bahwa “yang baik” itu kriterianya
adalah sesuai dengan tujuan Allah dan Rasul-Nya menetapkan hukum, maka itulah
kebaikan yang dimaksud tersebut, tak peduli jika menurut logika kita itu tidak
baik. Ketika Allah mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan maka diperintah
dan adalah keburukan sehingga dilarang. Sehingga kita tak mempunyai hak untuk
mengatakan, bahwa babi itu baik, walaupun mungkin secara logika ada yang
mengatakan bahwa babi itu lebih enak dibandingkan dengan daging yang lainnya.
Ketika Allah melarangnya, maka itulah keburukan.
B. KEDUDUKAN
MASHALIH AL-MURSALAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Masih menurut Abdul Wahab Kallaf
menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam berpendapat, bahwasannya
maslahah mursalah adalah Hujjah Syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan
hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash atau Ijma’
atau qiyas, ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang
dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar
kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari
syara’”.
Akan tetapi masih banyak juga yang menolak
mengenai kehujahan Maslahah Mursalah mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah
yang tidak ada bukti syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan
terhadapnya maupun pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar
pembentukan hukum.
Yang jelas mentarjihkan pendasaran
pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat dilakukan, karena apabila tidak
dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam dan akan berhenti
mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta lingkungan.
Adapun terhadap kehujjahan maslahah
al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan
dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan
syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk
menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut
berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan
bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi
hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi
hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Ulama
Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam
menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak
dan luas menerapkannya.
C.
SYARAT-SYARAT BERPEGANG KEPADA MASHALAH AL-MURSALIH
Syarat-syarat mashalihul mursalah
menurut Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali.
1) Rasional.
Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa
menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak masuk
kepada mashlahat mursalah.
2) Sinergi
dengan maqhasid syari’ah
3) Menjaga
prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul
haraj).
4.
AL-‘URF
A.
PENGERTIAN AL-‘URF
Urf menurut bahasa berarti mengetahui,
kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik
dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal
oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
B. MACAM-MACAM
AL-‘URF
1) Ditinjau
dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa
perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b. Al
Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual
beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2) Ditinjau
dari segi nilainya, ada dua macam :
a. Al
Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak
bertentangan dengan nash hukum syara’
b. Al
Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan
hukum syara
3) Ditinjau
dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a. Al
Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga
sekarang.
b. Al
urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja,
urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
4) Syarat-syarat
urf dapat diterima oleh hukum islam
a. Tidak
ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
b. Pemakian
tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak
mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
c. Telah
berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
C. KEDUDUKAN
‘URF SEBAGAI SUMBER HUKUM
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan
dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau
keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan
penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat
dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat
pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan
urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan
syara nas maupun ketentuan umum nas.
5.
SYAR’U
MAN QABLANA
A.
PENGERTIAN SYAR’U MAN QABLANA
Syaru man Qablana berasal dari kata Syara’a dan
Qabl. Kata Syar’u/syir’ah yang berarti harfiahnya syariat merupakan kata
jadian dari asal kata Syara’a, pada dasarnya berarti sebuah aliran air, namun
dapat berarti pula sebuah agama, hukum syareat. Sesuai dengan firman Allah :
لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا
Sedangkan Qablana berarti sebelum Islam,
yaitu syariat-syariat yang diturunkan Allah SWT kepada nabi-nabi yang diutus
sebelum Muhammad SAW.
Syar'u man
qablana ialah syari 'at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, yaitu
ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam, seperti ajaran agama Nabi
Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
B.
PEMBAGIAN DAN HUKUM SYAR’U MAN QABLANA
1.
Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita
(dimansukh)
Contoh :
Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong
apa yang kena najis itu.
2. Ajaran yang
ditetapkan oleh syariat kita.
Contoh :
Perintah menjalankan puasa.
3. Ajaran
yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita.
a) Yang
diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur'an atau as-Sunnah, tetapi tidak
tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b) Yang
tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari'at kita.
6.
SADDU
AL-DZARI’AH
A.
PENGERTIAN SADDU AL-DZARI’AH
Secara etimologi,
dzari’ah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu. Secara umum dzari’ah
mengandung dua pengertian, yaitu saad al-dzari’ah (sesuatu yang
dilarang) dan fath dzariah (sesuatu yang dituntut dilaksanakan).
Menurut imam Asy Syatibi, Saad Dzari’ah adalah melaksanakan
sesuatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu
kerusakan (kemafsadatan). Contohnya seseorang yang telah dikenai kewajiban
zakat, namun belum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya
sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
B. KEDUDUKAN
SADDU AL DZARI’AH SEBAGAI SUMBER HUKUM
Ulama Malikiyyah dan ulamaHanabilah menyatakan bahwa saad
dzari’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’,
dengan alasan hal tersebut berdasarkan pada:
1). Surat Al-An’am
6:108
“dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa
pengetahuan”
2). Sabda Rasulullah
SAW
“sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang
melaknat keduaorang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang ‘wahai Rasulullah,
bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?’ Rasulullah menjawab,
‘seseorang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicacimaki
orang itu, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan
dicacimaki orang itu,” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
Hadis ini menunjukkan bahwa saad dzari’ah termasuk
salah satu alas an untuk menetapkan hukum syara’, karena sabda
Rasulullah tersebut masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itu,
Rasulullah melarangnya.
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Syi’ah dapat menerima saad
dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya pada
kasus-kasus lain. Imam Syafi’I memperbolehkan seorang yang uzur, sakit, musafir
untuk meninggalkan shalat jum’at dan menggantinya dengan shalat dzuhur.
Orang yang uzur tidak puasa diperbolehkan, tetapi jangan makan didepan orang
lain yang tidak megerti uzurnya,karena akan menimbulkan fitnah.
Ulama Hanafiah menggunakan saad dzari’ah dalam
berbagai kasus hukum. Misalnya mengatakan bahwa orang yang melaksanakan puasa yaum
al syakk (akhir bulan sya’ban yang diragukan apakah telah masuk
bulan ramadhan atau belum) sebaiknya dilakukan secara diam-diam, apalagi bila
ia seorang mufti.
7.
MADZHAB
SHAHABI
A.
PENGERTIAN MADZHAB SHAHABI
Yang dimaksud dengan mazhab shahabi
ialah pendapat sahabat rasulullah SAW tentang suatu kasus diaman hukumnya tidak
dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Sedangkan menurut sebagian ulama
Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi yaitu, pendapat
hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat Rasulullah secara
individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuanya dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan mazhab shahabi itu sendiri
menunjuk pengertian pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang
suatu hukum syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimanan
pendapat para sahabat tersebut nerupakan hasil kesepakatan diantara mereka.
Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan antara keduannya ialah,qaul
ash-shahabi merupakan pendapat perorangan,yang antara satu pendapat sahabat
dengan pendapat sahabat yang lainya dapat berbeda. Sedangkan mazhab shahabi
merupakan pendapat bersama.
B.
CONTOH MADZHAB SHAHABI
- Seperti kasus pembangian warisan, nenek mendapat
bagian 1/6.
- Pendapat Utsman bin Affan tentang hilangnya shalat
jum’at apabila bertepatan dengan dua hari raya yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.
- Pendapat Ibnu Abbas tetang tidak diterimanya
kesaksian anak kecil.
C.
KEDUDUKAN MADZHAB SHAHABI SEBAGAI SUMBER
HUKUM
Menurut pendapat para sahabat dibagi 3 yaitu :
a. Mazhab
Shahabi yang berdasarkan sunah rasul wajib ditaati.
b. Mazhab
Shahabi yang berdasarkan ijtihad dan sudah mereka sepakati (ijma’ Shahabi)
dapat dijadikan hujjah dan wajib ditaati.
c. Mazhab
Shahabi yang tidak mereka sepakati tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak wajib
ditaati.
Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tafiq,
tenetang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu
diberlakukan. Para ulama sepakat bahwa pwndapat sahabat dalam bentuk ini tidak
menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainya, baik ia seorang imam,hakim atau
mufti. Kesepakatan ulama ini di nukilkan oleh dua pakar ushul fiqh, yaitu; Ibn
Subki dan al-Asnawi, yang mengajukan beberapa argumen
Para imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul ash-shahabi sebagai
rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab,
dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul ash-shahabi
dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang
diterima tanpa reserve) yang bersumber dari rasulullah.
Para ulam juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan
dengan ketentuna hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’
ash-shahabi) baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’
ash-sharih) maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada
pendapat yang berbeda dengan pendapat yang berkembang (ijma’ as-sukuti)
yang dalam istialh lain disebut dengan mazhab ash-shahabi, misalnya :bagian
warisan nenek perempuan adalah seperenam harta warisan. Sebaliknnya, para ulam
juga sepakat, bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan hasil ijtihad perorangan
tidak menjadi hujjah terhadap sahabat lainya.
Sebab fakta sejarah menunjukan dikalangan sahabat sendiri terjadi perbedaan
pendapat dalam beberapa masalah hukum syara’ tertentu. Sekiranya pendapat
seorang sahabat menjadi hujjah terhadap sahabat lainya, tentu perbedaan pendapat
tersebut tidak terjadi. Pendapat perorangan merupakan hujjah bagi generasi
tabi’in dan generasi berikutnya atau tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan
pendapat ulama diantaranya yaitu; Menurut jumhur ulama, yaitu ulama Hanfiyyah,
Imam Malik, pendapat Asy-Syafi’I yang lama (qaul al-qadim) dan menurut pendapat
Ahmad bin Hanbal yang terkuat: qaul ash-shahabi merupakan hujjah. Bahkan
menurut mereka qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas.
8.
DALALAT
AL-IQTIRAN
A.
PENGERTIAN DALALAT AL-IQTIRAN
Dalalal al-Iqtiran
Secara bahasa berarti dalil yang bersama-sama (berbarengan), secara istilah
adalah dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan sesuatu
yang disebut bersama-sama.
B.
CONTOH DALALAT AL-IQTIRAN
Firman Allah
Surat Al Baqarah ayat 196
“Sempurnakanlah
haji dan umrah karena Allah”(Al Baqorah 196)
C.
KEDUDUKAN DALALAT AL-IQTIRAN SEBAGAI
SUMBER HUKUM
Para ulama berbeda pendapat mengenai dalalatul iqtiran sebagai sumber
hukum.
a. Jumlah
ulama berpendapat bahwa dalalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah dengan
alasan
“Sesungguhnya
bersama-sama dalam suatu himpunan tidak mesti bersamaan dalam hukum”
c. Sebagai
ulama yang lain dari golongan Hanafiyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyah mengatakan
bahwa Dalalatul Iqtiran dapat dijadikan hujjah dengan alasan : “Sesungguhnya
‘athaf itu menghendaki musyarakat”
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sebagai umat islam, kita diwajibkan
untuk mengetahui serta memperdalam sumber ajaran agama yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. Karena sumber ajaran agama islam merupakan merupakan media
penuntun agar kita dapat melaksanakan semua perintah Allah dan semua
larangan-Nya. Agama islam pun tidak mempersulit kita dalam mempelajari seluk
beluk agama islam. Karena terdapat tingkatan sumber ajaran agama islam yang
harus kita pedomani.
Mempelajari ilmu ushul fiqh mempunyai
manfaat yang sangat urgen, terutama untuk dapat menjabarkan, memahami dan
mentranformasikan maksud nash-nash syariah kedalam suatu format hukum syariat
agar sesuai dengan tujuan syari’ (المصالح التي استهدفها الشارع الحكيم).
Ilmu ushul fiqh adalah suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang
dipakai para imam mujtahid untuk menggali dan menetapkan hukum syar’I dari
nash. Artinya ilmu ushul fiqh merupakan kajian metodologis untuk mengambil dan
menggeneralisasikan suatu illat dari nash serta cara yang paling tepat untuk
penetapannya. Dalam arti lain, ushul fiqh adalah untuk menjembatani antara
nushusu syariah yang terbatas dan kejadian-kejadian actual yang tidak terbatas (An-Nushus
mutanaahiyah wal waqa’I gahiru mutanaahiyah). Hal ini dimaksudkan agar
Al-qur’an dan Hadis dapat melebar (menjawab problematika umat) maka dibuatlah
sebuah metodologi.
B.
SARAN
1.
Hendaknya siswa/i dapat
membaca dan mempelajari al-quran.
2.
Sebaiknya dengan memahami al-quran
sebagai sumber islam paling tinggi, kita dapatmengamalkan dalm kehidupan
sehari-hari
3.
Dan juga seharusnya tidak hanya memahami
al-quran saja, tetapi sumber-sumber hukum islam lainnya